07 June 2007

Membuat Para Bidadari Surga Cemburu


Menikah adalah sebuah bentuk ibadah kita kepada Allah, selain juga bentuk kecintaan kita kepada Rasul Muhammad SAW, karena menikah adalah salah satu sunnah beliau. Dengan menikah diharapkan kita bisa berbuat lebih banyak lagi, tidak hanya terhadap diri kita, tapi juga terhadap orang lain disekitar kita. Bagaimana tidak, dengan menikah kita tidak hanya punya 1 keluarga yang sedari lahir kita kenal, tapi kita juga mempunyai keluarga baru yang akan meramaikan bingkai keluarga kita sebelumnya. Kita punya 2 Ayah (Ayah Kandung kita dan Ayah Mertua), lalu dua Ibu (Ibu Kandung kita dan Ibu Mertua), belum lagi deretan adik atau kakak, juga saudara lainnya. Sudah barang tentu itu akan lebih membuat keluarga kita semakin semarak.
Alhamdullilah saya juga telah menunaikan ibadah suci itu, saya telah menggenapkan setengah agama saya. Dan status saya pun berganti, dari seorang gadis menjadi seorang istri. Pada awal pernikahan, banyak hal yang baru buat saya. Mulai dari status saya, kebiasaan2 saya, belum lagi saya juga harus "berbagi" dengan suami yang pada saat itu adalah sosok baru dalam hidup saya. Saya juga kaget dengan predikat suami yang notabene sebagai akitifis di berbagai kegiatan dakwah, juga dengan gelar "keikhwahan" yang disandangnya. Banyak hal2 baru yang perlu saya adaptasi dari diri suami, bagaimana tidak, dari tata bahasa saja banyak kosa kata baru yang terkadang membuat saya terlihat "bodoh" didepannya, hanya karena saya tidak familiar dengan kata2 tersebut. Sebut saja Akhi(panggilan saudara untuk laki2), Ukhti (panggilan saudara untuk perempuan), Akhwat (perempuan), Ikhwan (laki2), Ane (saya), Antum (kamu) dan banyak kata2 lain yang sampai hari ini saya masih bekerja keras untuk mempelajari dan mengingatnya. Belum lagi dengan kegiatan suami yang bisa dibilang "tidak lazim", bagaimana tidak..disaat semua keluarga berkumpul dimalam hari, melepas kepenatan sehabis beraktifitas, eh suami malah pergi mengaji, bahkan sampai larut malam, membuat saya belajar untuk sabar menunggunya, dan berlapang dada tidak bisa bersantai dengannya seperti yang sebelumnya saya bayangkan. Juga kegiatan2 dakwahnya yang lain, yang juga menyita waktu kebersamaan kami. Apalagi disaat2 hamil seperti ini, kadang keinginan saya untuk selalu bersamanya melebihi sebelumnya, tapi ya itu yadi, saya harus kembali mematahkan keegoan saya untuk bisa terus menahan dia untuk tidak pergi berdakwah.
Kadang tak sekali dua kali kami harus bersitegang saat suami harus melangkah keluar rumah untuk berdakwah. Tapi saat itu juga, saya terkadang tersadar bahwa itu adalah komitmen yang telah kita sepakati bersama jauh sebelum kita memutuskan untuk menikah. Suami pernah bertanya tentang kesanggupan saya untuk selalu setia disampingnya dalam jalan dakwah, dan saat itu saya memang mengiyakan. Jawaban itulah yang kadang membuat saya "menyesal", kenapa saya saat itu mengiyakannya, padahal saya tau resiko dakwah itu tidaklah semudah yang tergambar dalam benak saya. Bahkan kadang saat suami berdakwahpun tak jarang pikiran "nakal" melayang dalam benak saya, bagaimana kalo nanti diperjalanan dakwahnya ada seorang wanita yang tergoda dengan kepiawaiannya berdakwah, bagaimana saya bisa mengatasinya, apa saya harus melarangnya berdakwah???
Tapi suami selalu berusaha menyakinkan bahwa dakwahnya adalah murni kecintaannya kepada Allah dan bentuk perjuangannya pada semua hal yang diyakininya tentang ajaran Islam, dan karena itulah dia tidak akan mengotori nya dengan hal2 yang justru akan membuatnya jauh dari keridhoan Allah. Sekilas saya tenang, tapi sebagai istri dengan suami yang selalu "bergelut" dengan jamaah yang tidak hanya dari golongan kaum adam, tentu saja saya tetap menyimpan kecemburuan dan kekhawatiran akan hal itu.
Sampai pada suatu hari saat kami kembali bersitegang tentang jadwalnya yang menyita waktu kebersamaan kami, suami berkata dengan lantang " Mas ingin pernikahan ini membuat kita semakin dekat dengan Allah, bukan justru semakin jauh"......Suami berkata dengan nada tegas, tanpa perduli dengan keinginan saya yang saat itu ingin bermanja-manja dengan dia. Kemudian suami bangkit dari duduknya dan mandi, bersiap2 untuk kembali "berperang" dalam dakwahnya. Saat terpekur dalam kediaman, perasaan saya bercampur aduk, sedih, kesal, marah dan banyak perasaan lainnya. Lalu kami shalat isya berjamaah, walau berat, saya tetap mencium tangannya sehabis shalat, sebuah kebiasaan yang sedari awal menikah telah kami jalankan. Akhirnya suami berangkat...kembali berdakwah seperti jadwal rutinnya.
Dirumah saya berusaha untuk menghilangkan kekesalan saya, karena saya tidak ingin sepulangnya suami nanti saya masih menunjukkan wajah tidak bersahabat. Saya mencoba membuka susunan buku2 islam milik kami, satu demi satu buku saya buka tanpa mengerti buku mana yang harus saya baca. Sampai saya pada satu buku yang judulnya menggelitik keingin tahuan saya. Saya membukanya dan mencoba membacanya. Pada sebuah paragraph dihalaman terakhir buku tersebut, saya mendapati sebuah kalimat yang bermakna sangat sesuai dengan keadaan saya sekarang.
Dihalaman buku tersebut tertulis : " Saat kita diberikan suami yang beriman oleh Allah, sebenarnya itu adalah sebuah titipan dari Allah. Karena sesungguhnya suami kita itu adalah jodoh sejati yang telah Allah siapkan untuk para bidadari2 surga. Maka disaat kita marah, kesal, dan tidak berkenan padanya, sesungguhnya para bidadari itu marah kepada kita, karena kita telah "menyianyiakan" suami mereka. Mereka juga "menghardik" kita dengan nada bicaranya yang lembut tapi tegas..."tak pantas kau sia2 kan suamimu itu, karena sesungguhnya mereka adalah titipan bagimu, mereka adalah suami yang abadi bagi kami di surga kelak".".
Sungguh kata2 itu menyentuh hati saya yang marah, membuatnya saya kembali tenang dan berfikir tentang kepergian suami saya tadi. Mengapa saya melepas kepergiannya dengan kemarahan, tidak dengan senyuman terbaik saya, kenapa saya melepas kepergiaannya dengan hati yang kesal, tidak dengan hati yang riang, bagaimana kalau kepergiannya tadi adalah perjuampaan kami yang terakhir, bukankah hanya Allah yang Maha Tahu umur setiap ciptaannya.
Ya Allah...hati saya berdetak kencang, dalam hati saya mendoakan suami agar segera pulang dengan selamat. Dan saya juga berusaha untuk tidak menyianyiakan amanah Allah yang Allah berikan dengan indah kepada saya. Saya juga akan berusaha untuk memberikan yang terbaik yang saya bisa, karena saya ingin membuat para bidadari di surga sana cemburu dengan kebahagiaan kami dan tentunya, saya juga ingin kelak dapat menjadi bidadari untuk suami saya di surga nanti. amin

PS : Maafkan Adinda ya kanda, bila sampai detik ini dinda belum bisa menjadi istri yang sempurna seperti yang kanda inginkan, semoga Allah selalu Ridho kepada kita dan menjadikan kita suami istri tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat nanti. amin